Kamis, 26 Mei 2011

e-KTP dan AFIS (automatic fingerprint identification system)

  
 
Pendahuluan
 Guna menutup munculnya data ganda yang rawan dimanfaatkan untuk kejahatan, Polri mulai menerapkan sistem terpadu pendataan berbasis sidik jari. Sistem terpadu ini dikelola oleh INAFIS atau Indonesia Automatic Fingerprint Identification System, yang merupakan sebuah sistem identifikasi database yang merekam setiap individu warganegara Indonesia, tak terkecuali bayi yang baru lahir sudah terekam kehadirannya lewat sistem ini. Sistem ini bekerja dengan mengambil semua sampel sidik jari warganegara secara terpadu dalam satu sistem pengelolaan agar birokrasi pendataan menjadi lebih efisien.
AFIS merupakan terobosan baru dalam teknologi kepolisian, sebagai transfer teknologi ilmu daktiloskopi yang selama ini masih menggunakan sistem manual. Kesadaran akan pentingnya pengidentifikasian untuk memecahkan suatu perkara kejahatan yang sulit seperti terorisme, pembobolan bank via ATM, pemilikan KTP ganda, dan lain-lain membuat pengembangan teknologi identifikasi semakin diperlukan. Sudah beberapa contoh identifikasi berkali-kali membantu kepolisian dalam mengungkap mozaik kasus-kasus sulit, seperti kasus bom Bali I tahun 2002 dimana dari sebuah onggokan logam nomor rangka ranmor bisa menyusun puzzle terorisme tingkat internasional. Terakhir, kasus kepemilikan KTP ganda milik gembong teroris Asia Tenggara, Dulmatin, membuat teknologi AFIS diyakini sebagai salah satu solusi identifikasi bukan saja bagi pihak kepolisian namun instansi-instansi yang ikut memanfaatkannya.
Seiring dengan arus globalisasi yang juga menyeret teknologi kepada perkembangan inovasi industrinya, membuat tindak kejahatan semakin beragam modusnya sehingga lumrah apabila banyak kasus kejahatan belum bisa terungkap dengan cepat, salah satu penyebabnya adalah polisi belum mengimbanginya dengan teknologi yang maju pula. Teknologi kepolisian sekarang kebanyakan adalah teknologi yang dikhususkan untuk menghadapi massa seperti teknologi menghadapi unjuk rasa, GPS, peralatan anti-teror, teknologi lalu lintas, dan lain-lain. Sedangkan teknologi di bidang penyidikan reskrim belum berkembang secara signifikan, hal ini disebabkan kepolisian sebagai penyidik belum memiliki bank data berbasis sidik jari dari setiap penduduknya untuk dibandingkan dengan sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian perkara, padahal diketahui sidik jari merupakan sistem identifikasi paling kuno namun efektif untuk pemecahan kasus kejahatan.
Penggunaan sidik jari pada jaman dahulu oleh para kaisar Cina dipakai untuk mengesahkan dokumen perjalanan, sampai akhirnya Sir Henry Faulds menjadi orang pertama yang menemukan sidik jari sebagai tanda pengenal diri (1880). Ia mengatakan bahwa pola yang ada di bagian bawah jari tangan ini akan menjadi hal terpenting dalam mengidentifikasi dan menyelidikan tindak kejahatan yang terjadi (Lee, 2007: 117). Dalam KUHP, sidik jari merupakan komponen utama yang harus dicari oleh seorang penyidik. Sidik jari merupakan barang bukti yang efektif sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP, karena melalui identifikasi sidik jari maka kekeliruan dalam pembuktian di persidangan dapat dihindari (Sitompul, 2005: 33).
Oleh sebab itu, kedepannya nanti INAFIS dapat menjadi muara berbagai macam pendataan yang terkait warganegara, yang selama ini dilakukan juga oleh berbagai instansi pemerintahan. Diharapkan semua sidik jari penduduk Indonesia dapat disimpan dalam satu database sidik jari nasional dan ini akan menunjang program transformasi KTP nasional yang hanya memiliki satu single identification number (SIN) atau nomor induk kependudukan (NIK) untuk satu warganegara. SIN ini kelak akan berwujud sebuah kartu pintar (smart card) layaknya ATM yang lengkap dengan chip yang mencatat semua sejarah kehidupan pemiliknya, baik biodata maupun catatan kriminal yang pernah dilakukannya selama hidup.

Dukungan INAFIS Mewujudkan e-KTP Berbasis Sidik Jari

Untuk menjadi bank data sidik jari nasional, maka Polri pun melengkapi peralatan AFIS-nya dengan telah memasang jaringan VPN-IP di 31 Polda jajaran, dengan kemampuan bandwindth sebesar 62 Kbps share (dibagi dengan unit lain selain INAFIS). Lalu Polri merangkul kerjasama dengan Depdagri dalam mendukung SIN berbasis sidik jari. Polri yang selama ini melakukan identifikasi sidik jari untuk keperluan SIM, SKCK, dan catatan kriminal lainnya akan menggandeng penggunaan KTP sebagai komponen utama mewujudkan SIN untuk satu warganegara. Dimana nantinya setiap warganegara yang hendak membuat KTP diwajibkan mengisi formulir bersama yang memuat foto diri dan 10 sidik jari untuk sinyalemen formulir. Kemudian akan diadakan verifikasi check duplikasi berdasarkan sidik jari melalui INAFIS server dan Depdagri server yang telah terhubung secara on-line sehingga nantinya dari masing-masing server yang terhubung dapat memberitahukan bahwa akses SIN dapat dilakukan bagi pemohon KTP baru, lalu apabila terdapat pemohon KTP lama yang berniat mengganti baru melalui cara-cara tidak bertanggungjawab (merubah identitas diri) dapat diketahui dari file sidik jari yang telah tersimpan sebelumnya. Kalau tidak ada masalah, maka si warganegara dapat memiliki kartu INAFIS dan KTP sekaligus.
Jika menilik dari semangat kerjasama ini, ada beberapa hal yang ingin didapat dari adanya e-KTP ini yaitu adanya rekam jejak warganegara dalam hal medical record, criminal record, daftar keluarga, dan lainnya dalam satu kartu (smart card). Namun apabila verifikasi hanya bisa dilakukan oleh Depdagri dan kepolisian maka beberapa lokasi rawan kejahatan tingkat tinggi masih belum bisa menggunakan fasilitas e-KTP ini seperti hotel, bank, rumah sakit, atau perpustakaan. Ini disebabkan untuk memuat data yang dikehendaki sebagai rekam jejak harus memiliki kemampuan chip yang memadai pula. Apabila chip yang dipakai sebagai e-KTP berkapasitas rendah, maka hanya sebagian data saja yang terekam dalam chip tersebut. Kalau sudah begini, maka e-KTP hanyalah sebatas identitas diri saja layaknya KTP biasa, namun keunggulannya sidik jari sudah terekam dalam bank data. Padahal dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, chip e-KTP harus memuat data tentang peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan (lihat pasal 64 ayat (3) dan pasal 1 ayat (17) UU No.23/2006).
Dalam upayanya melaksanakan program akselerasi pengembangan INAFIS sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Proja Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, maka Polri berupaya mengembangkan teknologi AFIS ini ke seluruh Polda jajaran bahkan sampai ke Polres dan Polsek. Untuk tahun 2009, sistem ini akan diimplementasikan di seluruh Polda, dua tahun kedepan giliran Polres, dan dua tahun berikutnya menjangkau Polsek, sehingga diharapkan 2013 seluruh jajaran kepolisian sudah terjangkau sistem AFIS ini.

Pengaruh Penerapan e-KTP Terhadap Profesionalisme Polri

Semangat penerapan INAFIS sebagai basis data sidik jari sangat berpengaruh pada perilaku profesionalisme personel Polri. Sarana AFIS yang cukup mahal menjadi kendala bagi penerapan sistem ini, apalagi ada beberapa daerah yang merasa belum siap untuk pengadaannya sehingga mendesak untuk ditunda atau dihapuskan kebijakan e-KTP ini (puspen.depdagri.go.id, 2010). Ada juga Polres/tabes yang sudah mengembangkan sistem ini bekerjasama dengan Pemda setempat seperti di Kepri, Jateng, Jatim, Jabar, DKI Jaya, atau Pontianak.
Profesionalisme Polri dalam menghadapi akselerasi transformasi kepolisian dituntut pada masih berkembangnya birokrasi primordial dalam pelayanan Polri kepada masyarakat, dimana budaya paternalistik turut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto dkk, 2006: 2). Sikap ingin dipuji oleh atasan, inovasi yang berlebihan (tidak akuntabel dan transparan), mempertahankan status quo, empire building (membina kekuasaan), dan lain-lain, masih menyertai semangat Polri untuk membangun INAFIS sebagai sentra database kependudukan.
Pemda akan berlomba-lomba memasukkan anggaran pengadaan e-KTP kedalam APBD-nya, sedangkan Polri mengharapkan anggaran pembangunan kekuatan yang berasal dari APBN untuk membangun INAFIS. Disatu sisi pengadaan e-KTP dapat memunculkan KKN baru, anggaran pengadaan dapat di mark-up (penggelembungan) oleh lembaga yang terkait dengan masalah ini. Sedangkan untuk membangun sistem AFIS, akhirnya banyak Polda atau Polres yang mengadakan sendiri (swadaya) sarana AFIS meskipun berjumlah ratusan juta.
Ini semua dilakukan agar oknum pejabat Polda atau Polres bisa mendapat nama dihadapan pimpinannya karena telah berhasil mengembangkan teknologi kepolisian tanpa harus ”meminta-minta” kepada Mabes Polri, akhirnya di tengah belum terpenuhinya anggaran Polri yang memadai dari pos APBN untuk pengadaan AFIS, beberapa fungsi kepolisian menjadi favorit untuk cepat mewujudkan keinginan dari sebagian anggota Polri, baik itu bersifat pribadi atau kelembagaan, sehingga kita mengenal istilah partisipasi masyarakat (parmas), partisipasi teman (parman), partisipasi kriminal (parmin) di lingkungan Polri yang dikelola oleh oknum Polri itu sendiri demi tercapainya tujuan akselerasi transformasi informasi tersebut (Muradi, 2009: 349).

Penutup

Keinginan Polri untuk mengimplementasikan INAFIS sebagai basis data kependudukan Indonesia sejatinya merupakan langkah maju bagi sistem pendataan kita. Apalagi dengan beberapa kerjasama yang dilakukan Polri dengan sejumlah instansi untuk mengadakan sarana AFIS agar dapat terhubung secara on-line, membuat tujuan Polri agar akselerasi transformasi Polri dapat diraih sehingga upaya Polri untuk memelihara kamtibmas dan mencegah kejahatan dapat terwujud. Namun implementasi ini dapat terkendala lantaran terjebak pembiayaan dan pilihan teknologi yang diterapkan.
Kebutuhan dana sebesar 6,7 trilyun rupiah untuk proyek pengadaan e-KTP dirasakan cukup fantantis dan terindikasi rawan mark-up. Database dalam chip yang seharusnya memuat seluruh rekam jejak individu, akan terhambat oleh kapasitas chip yang nantinya dapat dipenuhi oleh pembiayaan yang minim. Kemudian penerapan teknologi e-KTP ini diharapkan dapat memangkas birokrasi pada instansi lain yang diakses oleh masyarakat, bahwa sistem ini seharusnya memenuhi prinsip-prinsip tepat guna (appropriate) mendukung sistem pelayanan administrasi kependudukan, bertahan cukup lama (long life dan tidak mudah face out), efisien, aman, mudah dioperasionalkan dan murah pemeliharaannya, serta dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia dengan support yang selalu tersedia dan relatif cepat (Nuryanto, 2010).
Untuk itu keinginan Polri agar dapat membangun INAFIS sebagai pusat data sidik jari nasional yang terhubung dengan instansi-instansi terkait lainnya janganlah mengorbankan prinsip-prinsip profesionalisme Polri dalam upayanya menegakkan hukum. Polri yang mandiri bukan berarti setiap pejabatnya dituntut menghalalkan segala cara membangun kekuatan Polri dengan upaya yang tidak akuntabel dan transparan, namun lebih kepada mempertanggungjawabkan amanah rakyat untuk tidak berpihak pada kekuatan apapun (netral) dan pekerjaan yang tidak dilakukan secara amati